Search for:
KH Imam Ghozali, Perintis Perguruan Al-Islam

Sumber : Suara Merdeka, National GeographicGalih Pranata, S.Pd, M.Pd

Yayasan Perguruan Al-Islam Surakarta (Solo), yang kini mengelola puluhan lembaga pendidikan, tidak dapat dilepaskan dari sosok KH Imam Ghozali (1887-1969).

Semasa hidupnya beliau aktif dalam kegiatan dakwah baik dakwah bil-lisan (ceramah) maupun dakwah bil-hal (karya nyata). Di samping mengisi pengajian di berbagai majlis taklim, beliau menulis sedikitnya 23 buah buku.
 
Nama asli sosok yang dikenal sebagai salah satu tokoh pembaruan Islam abad ke-20 ini adalah Damanhuri.

Almarhum lahir di Desa Turen (Sukoharjo) pada tahun 1887. Semasa kanak-kanak, Damanhuri kecil mengaji kepada sang ayah H Hasan Ustadz. Selain itu, ia juga mendalami kitab kuning, seperti Safinah dan Majmu’.

Sewaktu menginjak usia 12 tahun, Damanhuri kecil dikirim ke Pondok Kepatihan Surakarta. Di sana ia belajar selama satu tahun, kemudian melanjutkan studinya ke Madrasah Mamba’ul Ulum.
 
Saat berusia 15 tahun, ia bersama ayah dan saudara-saudaranya yang lain pergi melaksanakan ibadah haji ke Tanah Suci.

Usai menunaikan ibadah haji, ia tidak ikut pulang ke Tanah Air melainkan memilih tinggal di Mekkah untuk memperdalam ilmu hadits. Maka, tidak mengherankan jika di kemudian hari Damanhuri alias Imam Ghozali dikenal sebagai ulama ahli hadits.
 
Setelah lama mukim di Mekkah, beliau kembali ke Surakarta (Solo) dan kemudian tinggal di Pesantren Jamsaren. Di samping itu, beliau mengajar di Madrasah Mamba’ul Ulum yang terletak di kompleks Masjid Agung Surakarta.

 
Ketika usianya genap 20 tahun, beliau menikahi Umi Hana, salah seorang cucu pendiri Pesantren Jamsaren.
 
Setahun setelah menikah, pasangan pengantin baru itu pindah ke daerah Sorosejan (Begalon) untuk mengembangkan syiar Islam. Di daerah ini beliau membuka majlis taklim, yang selanjutnya berkembang menjadi madrasah lantaran membludaknya jumlah santri yang mengaji.
 
Madrasah yang baru dibukanya itu diberi nama Madrasah Dienil Islam yang terbagi dalam dua tingkatan, yakni Ibtidaiyah (5 tahun) dan Tsanawiyah (4 tahun).

Kegiatan belajar tingkat Ibtidaiyah pada sore hari, sedangkan Tsanawiyah pagi hari. Hal tersebut dikarenakan terbatasnya prasarana (lokal) untuk kegiatan belajar mengajar.
 
Madrasah Dienil Ilsam inilah yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya sekolah-sekolah di bawah Yayasan Perguruan Al-Islam Surakarta.
 
Kiprah Almarhum KH Imam Ghozali tak sebatas dalam lingkup Perguruan Al-Islam saja. Jabatan yang pernah disandang beliau antara lain Anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP; 1946-1950) dan Penasihat PP Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Partai Masyumi; 1953).
 
Meskipun Alm. KH Imam Ghozali telah meninggal dunia pada 19 Juli 1969, namun syiar Islam yang dirintisnya terus berkibar hingga kini. Masjid At-Taqwa, yang terletak di kompleks SMA Al-Islam Surakarta, adalah salah satu saksi dakwah almarhum.

PENGENALAN KOLEKSI KHUSUS (KOLEKSI UNIK) BERUPA KITAB-KITAB HADIST YANG DIMILIKI PERPUSTAKAAN SMA AL ISLAM 1 SURAKARTA

Ustadz Muhtar Tri Harimurti, S. Ag sebagai Guru Pengampu PAI / Aqidah

Abu Dawud, Tirmidzi, An-Nasa’i, dan Ibnu Majah terkenal dengan sebutan Kutubus Sittah. Kutubus Sittah adalah sebutan untuk enam kitab hadis yang menjadi kitab induk hadis. 

Keenam kitab tersebut adalah : 

  • Shahih Bukhari
  • Shahih Muslim
  • Sunan Abu Dawud
  • Sunan At-Tirmidzi
  • Sunan An-Nasa’i
  • Sunan Ibnu Majah

Kitab-kitab tersebut menjadi pegangan umat Islam untuk memahami hadis Nabi Muhammad SAW. Kitab-kitab tersebut juga dijadikan rujukan para ulama dan kaum Muslimin untuk menjadi hujjah bagi persoalan-persoalan agama. 

RINDU TANAH JERUK : PALESTINA !

Tiba-tiba Bram menoleh ke arah kanan, pandangannya menatap jauh. Matanya terpaku pada sosok orang yang menyusuri pantai dengan langkah-langkahnya ringan. Seolah matanya tidak berkedip mengikuti sosok orang yang berjalan itu. Semakin dekat semakin pasti, seorang gadis yang berjalan sendiri. Tetapi benarkan itu Hala ? Benarkah, benarkah gadis itu Hala ? Bukankah kemarin dulu, gadis Palestina yang telah begitu akrab dengannya itu telah mengucapkan kata “selamat berpisah” dan mungkin tidak akan bertemu lagi dengannya di Kairo, Alexandria, ataupun di seluruh Mesir ?

Demikianlah sekelumit pergolakan batin Bram ketika menuntut ilmu di negeri Mesir, tempat ia menuntut ilmu bersambut getaran-getaran cinta. Getaran cinta yang disambut baik dengan kenalannya, Hala, seorang gadis PAlestina yang sedang berjuang untuk melepaskan negerinya dari belenggu penjajah. Garis hidup mereka bersisian di negeri seribu menara ini, namun Tuhan tidak menakdirkan untuk bersisian selamanya. Bram harus kembali ke Indonesia, Hala harus meneruskan perjuangannya di Palestina.